Accera Kalompoang di Balla Lompoa

Accera Kalompoang di Balla Lompoa

Balla Lompoa yang berada di jantung Sungguminasa, ibukota Kabupaten Gowa, hingga saat ini masih berdiri kokoh dan terawat. Berfungsi sebagai museum, Balla Lompoa yang secara harfiah berarti Rumah Besar atau Rumah Agung, awalnya adalah istana kerajaan Raja Gowa ke XXXV, yakni I Mangngi-Mangngi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo Sultan Muhammad Tahir Muhibuddin, yang beliau dirikan tahun 1936. Di dalam bangunan ini masih tersimpan berbagai macam benda-benda pusaka peninggalan kerajaan.

Keelompok Pagganrang Tunrung Pa'balle mengiringi rombongan penjemput air menuju bungung lompoa
Keelompok Pagganrang Tunrung Pa'balle mengiringi rombongan penjemput air menuju bungung lompoa

Di rumah berarsitektur asli Makassar ini, setiap tahun pewaris kerajaan menggelar kegiatan yang dinamakan Accera’ Kalompoang, digelar bertepatan dengan perayaan Idul Adha.

Kegiatan Accera’ Kalompoang atau pencucian benda-benda pusaka peninggalan raja-raja Gowa adalah kegiatan turun temurun yang dilakukan oleh raja-raja Gowa terdahulu dan dilanjutkan oleh para pewaris kerajaan, yang telah menjadi agenda kegiatan tahunan hingga saat ini.

Secara bergiliran, mereka membuat antrian panjang untuk mendapatkan seteguk air tuah yang dapat membuat mereka ‘buas’ di medan perang dan kebal terhadap senjata. Tak ubahnya ramuan sakti ala Galia dalam komik Asterix


Rangkaian Upacara Accera’ Kalompoang
Upacara Accera’ Kalompoang merupakan salah satu ritual adat yang sangat disakralkan dan dihormati masyarakat Gowa. Inti kegiatan upacara adat ini antara lain Alleka’ Je'ne’, Ammolong Tedong, Appidalleki dan Alangiri Kalompoang.

Bungung Lompoa disterilkan dari warga
Bungung Lompoa disterilkan dari warga
Upacara adat ini telah dilaksanakan secara turun temurun, dan dilaksanakan bertepatan dengan Idul Adha sebagai puncak acara yang dirangkaikan dengan pencucian benda-benda pusaka milik kerajaan.

Seperti yang berlangsung Kamis (26/11/09) yang lalu, sehari sebelum pelaksanaan Idul Adha 1430 H, kesibukan di Balla Lompoa mulai terlihat. Beberapa bura’ne (laki-laki) dan baine (wanita) berpakaian adat khas Makassar terlihat sibuk melakukan berbagai persiapan menjelang upacara adat Accera Kalompoang.

Sutrisno Daeng Tojeng, selaku pengawal benda pusaka memimpin upacara ritual Alleka’ Je'ne atau mengambil air dari Bungung Lompoa. Ritual Alleka’ Je'ne mengandung makna menjemput, mengambil dan mengantar air bertuah. Kegiatan yang seharusnya dimulai pada saat matahari sekitar Sitonrang Bulo (antara jam 07.30 - 09.00), terpaksa molor akibat Paganrang (kelompok pemukul gendang) terlambat datang.

Rombongan Alleka je'ne melintas di batu Pallantikang
Rombongan Alleka je'ne melintas di batu Pallantikang
Sekitar pukul 10.30 rombongan dan segenap perangkat upacara meninggalkan istana diiringi irama gendang Tunrung Pa'balle menuju ke Bungung Lompoa atau sumur besar yang bertuah, terletak di antara kompleks Makam Raja-raja Gowa (termasuk Raja Gowa ke XVI Sultan Hasanuddin) dan Masjid tua Katangka, melewati Batu Tumanurunga atau Batu Pallantikang yang dipergunakan sebagai tempat pelantikan raja yang berada di Bukit Tamalatea.

Pengambilan air di Bungung Lompoa mempergunakan timba yang bahannya terdiri dari unsur alam bersifat nabati, seperti pelepah daun lontar. Uniknya Di dalam Bungung Lompoa, terdapat dua buah sumur bertuah lainnya yang memiliki fungsi tersendiri, yakni Bungung Barania dan Bungung Bissua. Kalau Bungung Lompoa dipergunakan untuk membersihkan atau mencuci (Allangiri) benda-benda pusaka kerajaan, Bungung Barania (Sumur Keberanian) dipakai untuk kesaktian dan kekebalan (konon, di jaman dahulu kala, sebelum berangkat perang, para prajurit Gowa meminum air di sumur ini. Secara bergiliran, mereka membuat antrian panjang untuk mendapatkan seteguk air tuah yang dapat membuat mereka ‘buas’ di medan perang dan kebal terhadap senjata. Tak ubahnya ramuan sakti ala Galia dalam komik Asterix), dan Bungung Bissua yang airnya dipergunakan untuk pengobatan.

Pasukan pembawa air bertuah
Pasukan pembawa air bertuah
Sebelum rombongan penjemput air bertuah itu kembali ke Istana Raja Gowa, Balla Lompoa, air diarak mengelilingi Batu Tumanurunga sebanyak tiga kali.

Setibanya di Istana, sebagian air bertuah tersebut dituangkan di wajan untuk bahan Appassili, sementara selebihnya disemayamkan di atas Balla Lompoa untuk dipergunakan pada acara Allangiri Kalompoang.

Upacara kemudian dilanjutkan dengan Ammolong Tedong atau memotong kerbau. Menurut pemuka adat kerajaan Gowa, upacara Ammolong Tedong ini sesuai ajaran Syariat Islam yang bermakna sebagai penyerahan dan penolak bala yang berhubungan dengan darah sebagaimana penuturan yang disepakati secara teguh, turun temurun.

Prosesi pengambilan air bertuah di Bungung Lompoa
Prosesi pengambilan air bertuah di Bungung Lompoa
Upacara Ammolong Tedong dimulai pada saat posisi matahari Allabang Lino (pertengahan bumi). Upacara dimulai dengan ritual Appasili Tedong kemudian Apparurui Tedong atau perlakuan khusus pada hewan kurban. Selanjutnya hewan kurban diarak oleh rombongan mengitari areal istana, setelah itu dimasukkan ke dalam tempat khusus untuk disembelih. Sebagian darah ditadah dan disemayamkan untuk bahan Allangiri Kalompoang, sementara kepalanya disimpan untuk upacara Appidalleki.

Upacara Appidalleki
Appidalleki adalah upacara persembahan sesajen kepada leluhur yang diantar dengan doa syukur kehadirat Allah SWT. Kegiatan ini dilaksanakan pada saat posisi matahari kembali ke peraduannya, sesudah shalat Isya dan takbiran, dimana upacara ini khusus dihadiri oleh kalangan keluarga Raja.

Sebelum Appidalleki digelar, Allangiri Kalompoang atau biasa diistilahkan Annyossoro’ terlebih dulu dilakukan. Allangiri Kalompoang adalah upacara pembersihan benda-benda utama pusaka kerajaan yang dilanjutkan acara menimbang/penakaran benda-benda pusaka milik kerajaan.

Rombongan penjemput air mengelilingi batu tumanurunga
Rombongan penjemput air mengelilingi batu tumanurunga
Allangiri Kalompoang merupakan upacara inti dari segala rangkaian Accera’ Kalompoang yang oleh masyarakat Gowa memberikan arti tersendiri atas pelaksanaannya. Seperti Annyossoro’ (menggosok benda agar bersih) diartikan sebagai upaya membersihkan diri dari segala sifat kejelekan manusia; Allangiri diartikan sebagai penanaman keyakinan dan kesucian; dan Annimbang diartikan sebagai pertanda baik buruknya tingkat kehidupan rakyat di masa datang, termasuk berhasil tidaknya hasil bumi, ditentukan dari berat ringannya hasil penimbangan benda-benda kerajaan.

Benda Pusaka yang Dibersihkan
Adapun benda-benda pusaka kerajaan Gowa yang dibersihkan (Allangiri Kalompoang) adalah
1. Pannyanggayya. Tombak yang terbuat dari rotan dan berambut ekor kuda dengan panjang 2,22 cm dipakai pada upacara khusus kerajaan;
2. Lasippo. Benda kerajaan yang berbentuk parang dari besi tua. Senjata sakti ini dipergunakan oleh raja sebagai pertanda untuk mendatangi suatu tempat yang akan dikunjungi, panjangnya 62 cm, lebar 6 cm;
3. Tataparang. Sejenis keris emas, pakai permata dan besi tua sebagai pelengkapnya. Dipakai dalam upacara kerajaan, beratnya 986,5 gram, panjang 51 cm dan lebar 13 cm;
4. Salokoa. Mahkota kerajaan terbuat dari emas murni dengan hiasan beberapa butir permata dan berlian (jumlah 250 butir), bergaris tengah 30 cm, berat 1.768 gram. Bentuknya menyerupai kerucut bunga teratai yang memiliki lima helai kelopak daun. Salokoa merupakan mahkota raja, dikenakan saat pelantikan Raja Gowa; sebagai syarat mutlak dan sahnya sebuah pelantikan yang sakral. Mahkota ini dipercaya berasal dari Raja Gowa pertama, yakni Tumanurunga di abad 13.

Selain itu masih ada sejumlah benda pusaka lainnya yang ikut dibersihkan, di antaranya:
1.Sudanga. Sebuah Kalewang yang dipercaya memiliki kesaktian;
2.Ponto Janga-Jangayya. Gelang yang terbuat dari emas murni dengan berat 985,5 gram, bentuknya serupa naga yang melingkar, jumlah 4 buah;
3.Kolara’. Rantai kerajaan yang terbuat dari emas murni, menjadi atribut raja yang berkuasa, seberat 2.182 gram;
4.Bangkara’ Ta'roe. Anting-anting yang terbuat dari emas murni seberat 287 gram;
5.Kancing Gaukang. Anak kancing sebanyak 4 buah, yang terbuat dari emas murni seberat 277 gram;
6.Tobo Kaluku. Kalung yang terbuat dari emas murni pemberian dari Kerajaan Sulu Philipina Selatan (Manila) pada abad XVI;
7.Mata tombak, cincin emas, parang panjang, penning emas pemberian dari kerajaan Inggris; serta medali emas pemberian dari kerajaan Belanda

Related product you might see:

Share this product :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Seni - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger