Profil Bupati dan Wakil Bupati Gowa Saat ini

Order Detail

BIODATA BUPATI GOWA


Nama Lengkap : H. Ichsan Yasin Limpo, SH

Tempat/Tgl Lahir : Makassar, 9 Maret 1961

Status : Kawin

Agama : Islam

Jabatan : Bupati Gowa

Alamat Rumah : Jl. Mesjid Raya No.66 Kel. Tombolo

Kec. Somba Opu Kab. Gowa Prov. Sulsel

Alamat Kantor : Jl. Mesjid Raya No. 30 Kel. Sungguminasa

Kec. Somba Opu Kab. Gowa Prov. Sulsel

Telp. (0411) 861006 Fax. (0411) 866440

Telepon/Faximile : Rumah Telp. (0411) 866068

Kantor Telp. (0411) 861006 Fax. (0411) 866440

HP. 0811419845

RIWAYAT PENDIDIKAN :

1. SD Jongaya : Masuk Tahun 1968 di Makassar

2. SMP Jongaya : Lulus Tahun 1976 di Makassar

(Program 8 tahun SD-SMP)

3. SMAK : Lulus Tahun 1981 di Makassar

4. UMI : Lulus Tahun 2003 di Makassar

KURSUS/LATIHAN :

1. Basic Training HMI Cabang Makassar

2. Forum Tatap Muka Nasional KOSGORO

3. Penataran Kader Organisasi Nasional Khusus 9 (TARKORNA)

RIWAYAT PEKERJAAN :

1. Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 1999-2004

2. Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2004-2005

3. Bupati Gowa Tahun 2005-2010 & 2010-2014

TANDA JASA/PENGHARGAAN :

1. Penghargaan Kepedulian terhadap Program Pendidikan Non Formal Program Buta Aksara Tahun 2005 dari Menteri Pendidikan Nasional

2. Penghargaan Penyelenggaraan dan Pengembangan Pendidikan Tahun 2006 dari Gubernur Sulsel

3. Penghargaan Mendukung Tugas Pers dan PWI Sulsel Tahun 2006 dari PWI Sulsel.

KETERANGAN KELUARGA :

1. Istri

a. Nama Lengkap : Hj. Novita Madonza Amu Ichsan

b. Tempat/Tgl Lahir : Manado, 13 Februari 1966

c. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

2. Anak Kandung ke-1

a. Nama Lengkap : Sadli Nurjaffia Ichsan

b. Tempat/Tgl Lahir : Jakarta, 26 November 1984

c. Pekerjaan : Mahasiswa

3. Anak Kandung ke-2

a. Nama Lengkap : Adnan Purichta Ichsan

b. Tempat/Tgl Lahir : Jakarta, 9 Maret 1986

c. Pekerjaan : Mahasiswa

4. Anak Kandung ke-3

a. Nama Lengkap : Roidah Halilah Falih Ichsan

b. Tempat/Tgl Lahir : Makassar, 29 Oktober 1999

c. Pekerjaan : Mahasiswa

5. Anak Kandung ke-4

a. Nama Lengkap : M. Hauzan Nabhan Ichsan

b. Tempat/Tgl Lahir : Makassar, 8 Januari 2002

c. Pekerjaan : Mahasiswa

6. Bapak Kandung

a. Nama Lengkap : H. M. Yasin Limpo

b. Tempat/Tgl Lahir : Jakarta, 17 April 1926

c. Pekerjaan : Purn ABRI

7.Ibu Kandung

a. Nama Lengkap : Hj. Nurhayati Yasin Limpo

b. Tempat/Tgl Lahir : Pare-pare, 17 April 1926

c. Pekerjaan : Anggota DPR RI


WAKIL BUPATI GOWA

Nama Lengkap : H. Abd. Razak Badjidu, S.Sos

Tempat/Tgl Lahir : Gowa, 3 Agustus 1952

Status : Kawin

Agama : Islam

Jabatan : Wakil Bupati Gowa

Alamat Rumah : BTN Minasa Indah Blok B No. 18 Sungguminasa

Alamat Kantor : Jl. Mesjid Raya No. 30 Sungguminasa

Telepon/Faximile : Rumah Telp. (0411) 865354

Kantor Telp. (0411) 861070 Fax. (0411) 866449

HP. 081342645279

RIWAYAT PENDIDIKAN :

1. SR : Tahun 1964 di Malakaji, Gowa

2. SMP : Tahun 1967 di Malakaji, Gowa

3. SMA : Tahun 1970 di Makassar

4. STIPK (S.1) : Tahun 1999 di Makassar

KURSUS/LATIHAN :

1. SPAMA Tahun 1996 di Makassar

2. Lokakarya Nasional Pimpinan Daerag Atas LPJ Kepala Daerah Tahun 2004 di Jakarta

3. Pelatihan Kapasitas Camat dan rangka Optimalisasi Pelayanan Publik di Era Otonomi Daerah Tahun 2004 di Jakarta

4. Program Pengembangan Eksekutif Nasional Tahun 2005 di Jakarta

5. Diklat Bimtek Pengelolaan Keuangan Daerah Tahun 2006 di Jakarta

RIWAYAT PEKERJAAN :

1. Kepala Desa Datara Tahun 1979

2. Pj. Sekretaris Kec. Bungaya Tahun 1985

3. Pem. Pembantu Bdg. Agraria Tahun 1988

4. Camat Bungaya Tahun 1990

5. Camat Tinggimoncong Tahun 1994

6. Kepala Bagian Ketertiban Tahun 1999

7. Kepala Bagian Pemerintahan Tahun 2001

8. Wakil Bupati Gowa Tahun 2005-2010 & 2010-Sekarang

TANDA JASA/PENGHARGAAN :

1. Ketua Pantarlih Desa Datara Tahun 1982 dari Menteri Dalam Negeri/Ketua LPU

2. Ketua PPS Kec. Bungaya Tahun 1992 dari Menteri Dalam Negeri/Ketua LPU

3. Ketua PPS Kec. Tinggimoncong Tahun 1997 dari Menteri Dalam Negeri/Ketua LPU.

KETERANGAN KELUARGA :

1. Istri

a. Nama Lengkap : Hj. Rosminah

b. Tempat/Tgl Lahir : Jeneponto, Tahun 1955

c. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

2. Anak Kandung ke-1

a. Nama Lengkap : Muh. Sarjimin

b. Tempat/Tgl Lahir : Ujung Pandang, 28 Januari 1978

c. Pekerjaan : Mahasiswa

3. Anak Kandung ke-2

a. Nama Lengkap : Syarmiati

b. Tempat/Tgl Lahir : Datara, 24 September 1981

c. Pekerjaan : Mahasiswa

4. Bapak Kandung

a. Nama Lengkap : H. Badjidu (Alm)

b. Tempat/Tgl Lahir :

c. Pekerjaan :

5.Ibu Kandung

a. Nama Lengkap : Hj. Pudji (Alm)

b. Tempat/Tgl Lahir :

c. Pekerjaan :

Menikmati Indahnya Kota Wisata Malino

Order Detail
Menikmati Indahnya Kota Wisata Malino - Kota wisata Malino yang terletak 90 km arah Selatan Kota Makassar ibukota provinsi Sulawesi Selatan. Menikmati indahnya Kota wisata Malino. Merupakan salah satu obyek wisata alam yang memiliki daya tarik tersendiri. Malino layaknya seperti kawasan puncak Bogor ataupun Bandung. Menikmati indahnya Kota wisata Malino. Di kawasan wisata Malino sendiri, terdapat hutan wisata, berupa pohon pinus yang tinggi berjejer di antara bukit dan lembah. pemandangan disini begitu menawan dan indah, itulah sebabnya setiap Akhir pekan Kota Wisata Malino ramai dikunjungi terutama para turis lokal yang berasal dari kota Makassar. Menikmati indahnya kota wisata Malino.
Pintu Gerbang Sebelum Memasuki Kota Wisata Malino

Jalan menanjak dan berkelok-kelok dengan melintasi deretan pegunungan dan lembah yang indah bak lukisan alam, akan mengantarkan Anda ke kota Malino. Kawasan tersebut terkenal sebagai wisata sejak zaman penjajahan Belanda. Banyak pengunjung yang datang baik dari Kota Makassar maupun dari daerah-daerah lain di Sulawesi Selatan, dari seluruh Indonesia bahkan banyak juga touris Mancanegara, untuk mendapatkan tempat rekreasi dan refreshing yang aman, terutama pada saat weekend atau liburan. Sebelum muncul nama Malino, dulu rakyat setempat mengenalnya dengan nama kampung ‘Lapparak’. Laparrak dalam bahasa Makassar berarti datar, yang berarti pula hanya di tempat itulah yang merupakan daerah datar, diantara gunung-gunung yang berdiri kokoh. Terletak di ketinggian antara 980-1.050 DPL.
Salah Satu Sudut Jalan Menuju Kota Wisata Malino

Kota Malino mulai dikenal dan semakin popular sejak zaman penjajahan Belanda, lebih-lebih setelah Gubernur Jenderal Caron pada tahun 1927 memerintah di “Celebes on Onderhorighodon” telah menjadikan Malino pada tahun 1927 sebagai tempat peristirahatan bagi para pegawai pemerintah dan siapa saja dari pemerintah warga kota Makassar sanggup dan suka membangun bungalow atau villa di tempat sejuk itu.
Prasasti Malino 1927

Sebelum memasuki kota Malino, terdapat sebuah tembok prasasti di pinggir jalan dengan tulisan: MALINO 1927. Tulisan tersebut cukup jelas dan seketika itu pula dapat dibaca setiap orang yang melintas di daerah itu, namun prasasti ini dijahili oleh tangan-tangan vandalis.
Malino 1927 bukan berarti Malino baru dikuasai Belanda pada tahun itu. Jauh sebelumnya, Belanda sudah berkuasa di wilayah Kerajaan Gowa, terutama setelah pasca Perjanjian Bungaya 18 November 1667. Disini juga pernah diadakan Konferensi Malino yang dilaksanakan Mulai tanggal 15 - 25 Juli 1946, yang diprakarsai oleh Gubernur Jenderal Dr. H.J. van Mook membicarakan dan menggagas pendirian Negara Indonesia Timur (NIT). Juga pernah dilaksanakan perjanjian perdamaian Malino I dan Malino 2 yang diprakarsai oleh HM. Jusuf Kalla.
Sejak zaman kerajaan, Malino atau Laparrak hanya terdiri dari hutan belantara, di dalam wilayahnya terdapat beberapa anak sungai yang semuanya bermuara pada Sungai Jeneberang.
Waktu kecil saya mendengar kota Malino sebagai tempat wisata yang terfavorit di Sulawesi Selatan . Pertama kesana waktu saya masih kelas III SMA, tahun 2003 silam, saya dan beberapa teman SMA, termasuk my love saat itu ke Malino untuk berwisata sehabis ulangan semester. Kami naik mobil Sewaan dari Makassar ke Malino. Tiba di Malino kami langsung ke Hutan Wisata Malino, disana kami menikmati indahnya panorama alam wisata Malino, ditambah dengan syahdunya romantika cinta saya kepada my love waktu itu (jadi teringat lagi kisah cinta di SMA, meskipun cinta kami kini telah kandas).
Terakhir saya kesana sehabis lebaran lalu, saya kesana tampa my love-my love lagi, tapi benar-benar ingin berekreasi menikmati indahnya Malino. Untuk menuju ke Malino sarana dan prasarananya bisa dibilang cukup memadai. Kita bisa ambil mobil angkot (pete-pete) atau mobil panther. Cukup banyak mobil yang lalu-lalang kesana yang senantiasa menunggu baik di terminal Malengkeri, maupun di terminal Sungguminasa. Akses kesana pun semakin dekat, karena sudah ada jalan tembus Antang langsung ke Bili-bili, meskipun sekarang ini, jalan tersebut masih dalam tahap perbaikan.
Air Terjun Jonjo

Sawah Penduduk Yang Menghijau

Jembatan Menuju Kampung Jonjo

Saya waktu ke Malino baru-baru ini memilih naik sepeda motor, karena ingin menjelajahi pelosok-pelosok alam Wisata Malino. Obyek wisata yang saya datangi yang pertama adalah air terjun Jonjo. Air terjun ini punya kekhasan tersendiri dibanding air terjun Takapala yang dikenal pada umumnya oleh wisatawan. Air terjun Jonjo ini terletak di seberang sungai Jeneberang. Di air terjun ini kita juga bisa menikmati areal persawahan sengkedan yang menghijau milik penduduk Desa Jonjo. Jarak dari kota malino ke Jonjo kir-kira 10 KM.
Setelah puas menikmati kealamian air terjun Jonjo, saya pun kemudian meluncur kembali ke Kota Malino. Sebelum memasuki gerbang kota Malino, saya singgah di lubang-lubang penghadangan (bungker) tentara Jepang. Sejak kedatangan Balatentara Dai Nippon ke Makassar pada tahun 1942 daerah Malino ikut di duduki oleh Jepang dengan alasan bahwa daerah ini strategis dan merupakan penghasil sayur-mayur untuk logistik Balatentara Dai Nippon. Makanya disepanjang jalan menuju kota Malino terdapat bungker-bungker penghadangan dan pertahanan dari serangan sekutu. Sayang… bungker-bungker Jepang ini tidak terawat dan dibiarkan terbengkalai. Bahkan akibat dari perluasan jalan, banyak bungker yang sudah tidak berbekas lagi. Peninggalan Jepang lainnya adalah gudang senjata dan Rumah Sakit Kaigumbioying dan Markas Tentara (SMP Negeri 1 Tinggimoncong sekarang).
Salah Satu Bungker Peninggalan Jepang di Malino

Setelah dari bungker Jepang, saya meluncur ke kebun teh Malino yang berjarak kurang lebih 9 KM dari kota Malino. Kebun teh ini dikelola oleh orang Jepang. Namun saat ini nampaknya kebun teh Malino tidak terawat lagi. Disamping kebun teh juga terdapat kebun strawbery, disini pengunjung bisa singgah menikmati wisata alam Malino serta memetik dan menikmati buah strawbery. Letak kedua obyek wisata ini tedapat di desa Bulutana kecamatan Tinggi Moncong kabupaten Gowa.
Pemandangan Alam di Kebun Teh Malino

Tempat Parkir Yang Unik di Kebun Teh Malino

Waktu itu sudah jam 12 siang wita, saya kemudian kembali lagi ke Kota Malino, saya singgah di hutan wisata Malino. Disini sudah ramai oleh wisatawan. Yang khas disini adalah wisata menunggang kuda. Penduduk asli Malino dengan sabar menunggui para wisatawan yang mau sekedar mencoba menunggang kuda. Tarifnya pun terbilang ekonomis, Rp. 10.000 satu kali naik kuda dengan mengelilingi hutan wisata Malino. Takut nanti kudanya ngamuk??? Tenang, pemilik kuda dengan sabar dan telaten akan mengarahkan kudanya.
Penduduk Yang Menyewakan Kudanya Untuk di Tunggangi


Mencoba Menunggangi Kuda

Tak jauh dari hutan wisata Malino. Terdapat pasar wisata Malino. Disini dijual beraneka rupa produk hasil Malino, sayur-mayur, buah-buahan dan yang terkenal tenteng kacang dan tenteng markisa Malino, adapun handycraft yang bisa dibawah pulang adalah kembang Edelweys yang diambil langsung dari puncak gunung Bawakaraeng. Dan sekarang sudah dijual dipasar ini baju kaos yang bercorak khas Malino hasil kreasi dari anak-anak muda kreatif Malino.
Salah Satu Stand Yang Menjual Markisa di Pasar Wisata Malino

Tenteng Kacang Penganan Khas Malino

Baju Kaos Hasil Kreasi Anak-anak Muda Malino


Mengenai akomodasi di kota wisata Malino ini boleh dibilang sudah memadai, kita tinggal pilih vila atau bungalow, diantaranya Barugaya (Mess Pemprov Sulsel), Restoran, Pesanggrahan dan MEPB (PLN sekarang). Harganya bervariasi mulai dari kelas eksekutif sampai kelas rakyat lengkap di Kota wisata Malino
Salah Satu Villa di Malino

Sebenarnya masih banyak tempat wisata Malino yang menarik lainnya, diantaranya Lembah Biru, wisata kuliner dengan menu ikan bakar, Pesanggrahan Malino yang legendaris, gedung bekas Konferensi Belanda , pabrik pengolahan Jamur dan Sereh, rumah adat (balla lompoa) di Bulutana, wisata mendaki ke puncak gunung Bawakaraeng. Namun karena waktu itu sudah sore, saya kemudian meluncur kembali ke kota Makassar. Suatu saat bila tiba musim liburan lagi, saya akan kembali ke kota wisata Malino, menikmati sejuknya alam, menikmati indahnya panorama gunung-gunung yan berdiri kokoh dan indahnya ngarai-ngarai yang menganga.
Pemandangan di Puncak Gunung Bawakaraeng

Air Terjun Takapala Malino

Salah Satu Sudut Kota Sejuk Malino

Buat yang ingin berwisata ke Malino, silahkan berkunjung ke sana, dengan ramah penduduk disana akan menerima Anda. Di samping Malino Anda juga dapat mengunjungi Bantimurung di Maros, wisata budaya di Toraja, wisata Pantai Pasir Putih di Bira Bulukumba; wisata menyelam di Taka Bonerate Selaya, kota Anging Mamiri Makassar, dan banyak lagi tempat-tempat wisata lainnya di Sulawesi Selatan

Accera Kalompoang di Balla Lompoa

Order Detail

Accera Kalompoang di Balla Lompoa

Balla Lompoa yang berada di jantung Sungguminasa, ibukota Kabupaten Gowa, hingga saat ini masih berdiri kokoh dan terawat. Berfungsi sebagai museum, Balla Lompoa yang secara harfiah berarti Rumah Besar atau Rumah Agung, awalnya adalah istana kerajaan Raja Gowa ke XXXV, yakni I Mangngi-Mangngi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo Sultan Muhammad Tahir Muhibuddin, yang beliau dirikan tahun 1936. Di dalam bangunan ini masih tersimpan berbagai macam benda-benda pusaka peninggalan kerajaan.

Keelompok Pagganrang Tunrung Pa'balle mengiringi rombongan penjemput air menuju bungung lompoa
Keelompok Pagganrang Tunrung Pa'balle mengiringi rombongan penjemput air menuju bungung lompoa

Di rumah berarsitektur asli Makassar ini, setiap tahun pewaris kerajaan menggelar kegiatan yang dinamakan Accera’ Kalompoang, digelar bertepatan dengan perayaan Idul Adha.

Kegiatan Accera’ Kalompoang atau pencucian benda-benda pusaka peninggalan raja-raja Gowa adalah kegiatan turun temurun yang dilakukan oleh raja-raja Gowa terdahulu dan dilanjutkan oleh para pewaris kerajaan, yang telah menjadi agenda kegiatan tahunan hingga saat ini.

Secara bergiliran, mereka membuat antrian panjang untuk mendapatkan seteguk air tuah yang dapat membuat mereka ‘buas’ di medan perang dan kebal terhadap senjata. Tak ubahnya ramuan sakti ala Galia dalam komik Asterix


Rangkaian Upacara Accera’ Kalompoang
Upacara Accera’ Kalompoang merupakan salah satu ritual adat yang sangat disakralkan dan dihormati masyarakat Gowa. Inti kegiatan upacara adat ini antara lain Alleka’ Je'ne’, Ammolong Tedong, Appidalleki dan Alangiri Kalompoang.

Bungung Lompoa disterilkan dari warga
Bungung Lompoa disterilkan dari warga
Upacara adat ini telah dilaksanakan secara turun temurun, dan dilaksanakan bertepatan dengan Idul Adha sebagai puncak acara yang dirangkaikan dengan pencucian benda-benda pusaka milik kerajaan.

Seperti yang berlangsung Kamis (26/11/09) yang lalu, sehari sebelum pelaksanaan Idul Adha 1430 H, kesibukan di Balla Lompoa mulai terlihat. Beberapa bura’ne (laki-laki) dan baine (wanita) berpakaian adat khas Makassar terlihat sibuk melakukan berbagai persiapan menjelang upacara adat Accera Kalompoang.

Sutrisno Daeng Tojeng, selaku pengawal benda pusaka memimpin upacara ritual Alleka’ Je'ne atau mengambil air dari Bungung Lompoa. Ritual Alleka’ Je'ne mengandung makna menjemput, mengambil dan mengantar air bertuah. Kegiatan yang seharusnya dimulai pada saat matahari sekitar Sitonrang Bulo (antara jam 07.30 - 09.00), terpaksa molor akibat Paganrang (kelompok pemukul gendang) terlambat datang.

Rombongan Alleka je'ne melintas di batu Pallantikang
Rombongan Alleka je'ne melintas di batu Pallantikang
Sekitar pukul 10.30 rombongan dan segenap perangkat upacara meninggalkan istana diiringi irama gendang Tunrung Pa'balle menuju ke Bungung Lompoa atau sumur besar yang bertuah, terletak di antara kompleks Makam Raja-raja Gowa (termasuk Raja Gowa ke XVI Sultan Hasanuddin) dan Masjid tua Katangka, melewati Batu Tumanurunga atau Batu Pallantikang yang dipergunakan sebagai tempat pelantikan raja yang berada di Bukit Tamalatea.

Pengambilan air di Bungung Lompoa mempergunakan timba yang bahannya terdiri dari unsur alam bersifat nabati, seperti pelepah daun lontar. Uniknya Di dalam Bungung Lompoa, terdapat dua buah sumur bertuah lainnya yang memiliki fungsi tersendiri, yakni Bungung Barania dan Bungung Bissua. Kalau Bungung Lompoa dipergunakan untuk membersihkan atau mencuci (Allangiri) benda-benda pusaka kerajaan, Bungung Barania (Sumur Keberanian) dipakai untuk kesaktian dan kekebalan (konon, di jaman dahulu kala, sebelum berangkat perang, para prajurit Gowa meminum air di sumur ini. Secara bergiliran, mereka membuat antrian panjang untuk mendapatkan seteguk air tuah yang dapat membuat mereka ‘buas’ di medan perang dan kebal terhadap senjata. Tak ubahnya ramuan sakti ala Galia dalam komik Asterix), dan Bungung Bissua yang airnya dipergunakan untuk pengobatan.

Pasukan pembawa air bertuah
Pasukan pembawa air bertuah
Sebelum rombongan penjemput air bertuah itu kembali ke Istana Raja Gowa, Balla Lompoa, air diarak mengelilingi Batu Tumanurunga sebanyak tiga kali.

Setibanya di Istana, sebagian air bertuah tersebut dituangkan di wajan untuk bahan Appassili, sementara selebihnya disemayamkan di atas Balla Lompoa untuk dipergunakan pada acara Allangiri Kalompoang.

Upacara kemudian dilanjutkan dengan Ammolong Tedong atau memotong kerbau. Menurut pemuka adat kerajaan Gowa, upacara Ammolong Tedong ini sesuai ajaran Syariat Islam yang bermakna sebagai penyerahan dan penolak bala yang berhubungan dengan darah sebagaimana penuturan yang disepakati secara teguh, turun temurun.

Prosesi pengambilan air bertuah di Bungung Lompoa
Prosesi pengambilan air bertuah di Bungung Lompoa
Upacara Ammolong Tedong dimulai pada saat posisi matahari Allabang Lino (pertengahan bumi). Upacara dimulai dengan ritual Appasili Tedong kemudian Apparurui Tedong atau perlakuan khusus pada hewan kurban. Selanjutnya hewan kurban diarak oleh rombongan mengitari areal istana, setelah itu dimasukkan ke dalam tempat khusus untuk disembelih. Sebagian darah ditadah dan disemayamkan untuk bahan Allangiri Kalompoang, sementara kepalanya disimpan untuk upacara Appidalleki.

Upacara Appidalleki
Appidalleki adalah upacara persembahan sesajen kepada leluhur yang diantar dengan doa syukur kehadirat Allah SWT. Kegiatan ini dilaksanakan pada saat posisi matahari kembali ke peraduannya, sesudah shalat Isya dan takbiran, dimana upacara ini khusus dihadiri oleh kalangan keluarga Raja.

Sebelum Appidalleki digelar, Allangiri Kalompoang atau biasa diistilahkan Annyossoro’ terlebih dulu dilakukan. Allangiri Kalompoang adalah upacara pembersihan benda-benda utama pusaka kerajaan yang dilanjutkan acara menimbang/penakaran benda-benda pusaka milik kerajaan.

Rombongan penjemput air mengelilingi batu tumanurunga
Rombongan penjemput air mengelilingi batu tumanurunga
Allangiri Kalompoang merupakan upacara inti dari segala rangkaian Accera’ Kalompoang yang oleh masyarakat Gowa memberikan arti tersendiri atas pelaksanaannya. Seperti Annyossoro’ (menggosok benda agar bersih) diartikan sebagai upaya membersihkan diri dari segala sifat kejelekan manusia; Allangiri diartikan sebagai penanaman keyakinan dan kesucian; dan Annimbang diartikan sebagai pertanda baik buruknya tingkat kehidupan rakyat di masa datang, termasuk berhasil tidaknya hasil bumi, ditentukan dari berat ringannya hasil penimbangan benda-benda kerajaan.

Benda Pusaka yang Dibersihkan
Adapun benda-benda pusaka kerajaan Gowa yang dibersihkan (Allangiri Kalompoang) adalah
1. Pannyanggayya. Tombak yang terbuat dari rotan dan berambut ekor kuda dengan panjang 2,22 cm dipakai pada upacara khusus kerajaan;
2. Lasippo. Benda kerajaan yang berbentuk parang dari besi tua. Senjata sakti ini dipergunakan oleh raja sebagai pertanda untuk mendatangi suatu tempat yang akan dikunjungi, panjangnya 62 cm, lebar 6 cm;
3. Tataparang. Sejenis keris emas, pakai permata dan besi tua sebagai pelengkapnya. Dipakai dalam upacara kerajaan, beratnya 986,5 gram, panjang 51 cm dan lebar 13 cm;
4. Salokoa. Mahkota kerajaan terbuat dari emas murni dengan hiasan beberapa butir permata dan berlian (jumlah 250 butir), bergaris tengah 30 cm, berat 1.768 gram. Bentuknya menyerupai kerucut bunga teratai yang memiliki lima helai kelopak daun. Salokoa merupakan mahkota raja, dikenakan saat pelantikan Raja Gowa; sebagai syarat mutlak dan sahnya sebuah pelantikan yang sakral. Mahkota ini dipercaya berasal dari Raja Gowa pertama, yakni Tumanurunga di abad 13.

Selain itu masih ada sejumlah benda pusaka lainnya yang ikut dibersihkan, di antaranya:
1.Sudanga. Sebuah Kalewang yang dipercaya memiliki kesaktian;
2.Ponto Janga-Jangayya. Gelang yang terbuat dari emas murni dengan berat 985,5 gram, bentuknya serupa naga yang melingkar, jumlah 4 buah;
3.Kolara’. Rantai kerajaan yang terbuat dari emas murni, menjadi atribut raja yang berkuasa, seberat 2.182 gram;
4.Bangkara’ Ta'roe. Anting-anting yang terbuat dari emas murni seberat 287 gram;
5.Kancing Gaukang. Anak kancing sebanyak 4 buah, yang terbuat dari emas murni seberat 277 gram;
6.Tobo Kaluku. Kalung yang terbuat dari emas murni pemberian dari Kerajaan Sulu Philipina Selatan (Manila) pada abad XVI;
7.Mata tombak, cincin emas, parang panjang, penning emas pemberian dari kerajaan Inggris; serta medali emas pemberian dari kerajaan Belanda
Order Detail
Perjanjian Bungaya (sering juga disebut Bongaya atau Bongaja) adalah perjanjian perdamaian yang ditandatangani pada tanggal 18 November 1667 di Bungaya antara Kesultanan Gowa yang diwakili oleh Sultan Hasanuddin dan pihak Hindia Belanda yang diwakili oleh Laksamana Cornelis Speelman. Walaupun disebut perjanjian perdamaian, isi sebenarnya adalah deklarasi kekalahan Gowa dari VOC (Kompeni) serta pengesahan monopoli oleh VOC untuk perdagangan sejumlah barang di pelabuhan Makassar (yang dikuasai Gowa).

Isi perjanjian

  1. Perjanjian yang ditandatangani oleh Karaeng Popo, duta pemerintah di Makassar (Gowa) dan Gubernur-Jendral, serta Dewan Hindia di Batavia pada tanggal 19 Agustus 1660, dan antara pemerintahan Makassar dan Jacob Cau sebagai Komisioner Kompeni pada tanggal 2 Desember 1660 harus diberlakukan.
  2. Seluruh pejabat dan rakyat Kompeni berkebangsaan Eropa yang baru-baru ini atau di masa lalu melarikan diri dan masih tinggal di sekitar Makassar harus segera dikirim kepada Laksamana (Cornelis Speelman).
  3. Seluruh alat-alat, meriam, uang, dan barang-barang yang masih tersisa, yang diambil dari kapal Walvisch di Selayar dan Leeuwin di Don Duango, harus diserahkan kepada Kompeni.
  4. Mereka yang terbukti bersalah atas pembunuhan orang Belanda di berbagai tempat harus diadili segera oleh Perwakilan Belanda dan mendapat hukuman setimpal.
  5. Raja dan bangsawan Makassar harus membayar ganti rugi dan seluruh utang pada Kompeni, paling lambat musim berikut.
  6. Seluruh orang Portugis dan Inggris harus diusir dari wilayah Makassar dan tidak boleh lagi diterima tinggal di sini atau melakukan perdagangan.
    Tidak ada orang Eropa yang boleh masuk atau melakukan perdagangan di Makassar.
  7. Hanya Kompeni yang boleh bebas berdagang di Makassar. Orang "India" atau "Moor" (Muslim India), Jawa, Melayu, Aceh, atau Siam tidak boleh memasarkan kain dan barang-barang dari Tiongkok karena hanya Kompeni yang boleh melakukannya. Semua yang melanggar akan dihukum dan barangnya akan disita oleh Kompeni.
  8. Kompeni harus dibebaskan dari bea dan pajak impor maupun ekspor.
  9. Pemerintah dan rakyat Makassar tidak boleh berlayar ke mana pun kecuali Bali, pantai Jawa, Jakarta, Banten, Jambi, Palembang, Johor, dan Kalimantan, dan harus meminta surat izin dari Komandan Belanda di sini (Makassar). Mereka yang berlayar tanpa surat izin akan dianggap musuh dan diperlakukan sebagaimana musuh. Tidak boleh ada kapal yang dikirim ke Bima, Solor, Timor, dan lainnya semua wilayah di timur Tanjung Lasso, di utara atau timur Kalimantan atau pulau-pulau di sekitarnya. Mereka yang melanggar harus menebusnya dengan nyawa dan harta.
  10. Seluruh benteng di sepanjang pantai Makassar harus dihancurkan, yaitu: Barombong, Pa'nakkukang, Garassi, Mariso, Boro'boso. Hanya Sombaopu yang boleh tetap berdiri untuk ditempati raja.
  11. Benteng Ujung Pandang harus diserahkan kepada Kompeni dalam keadaan baik, bersama dengan desa dan tanah yang menjadi wilayahnya.
  12. Koin Belanda seperti yang digunakan di Batavia harus diberlakukan di Makassar.
  13. Raja dan para bangsawan harus mengirim ke Batavia uang senilai 1.000 budak pria dan wanita, dengan perhitungan 2½ tael atau 40 mas emas Makassar per orang. Setengahnya harus sudah terkirim pada bulan Juni dan sisanya paling lambat pada musim berikut.
  14. Raja dan bangsawan Makassar tidak boleh lagi mencampuri urusan Bima dan wilayahnya.
  15. Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu harus diserahkan kepada Kompeni untuk dihukum.
  16. Mereka yang diambil dari Sultan Butung pada penyerangan terakhir Makassar harus dikembalikan. Bagi mereka yang telah meninggal atau tidak dapat dikembalikan, harus dibayar dengan kompensasi.
  17. Bagi Sultan Ternate, semua orang yang telah diambil dari Kepulauan Sula harus dikembalikan bersama dengan meriam dan senapan. Gowa harus melepaskan seluruh keinginannya menguasai kepulauan Selayar dan Pansiano (Muna), seluruh pantai timur Sulawesi dari Manado ke Pansiano, Banggai, dan Kepulauan Gapi dan tempat lainnya di pantai yang sama, dan negeri-negeri Mandar dan Manado, yang dulunya adalah milik raja Ternate.
  18. Gowa harus menanggalkan seluruh kekuasaannya atas negeri-negeri Bugis dan Luwu. Raja tua Soppeng [La TĂ©nribali] dan seluruh tanah serta rakyatnya harus dibebaskan, begitu pula penguasa Bugis lainnya yang masih ditawan di wilayah-wilayah Makassar, serta wanita dan anak-anak yang masih ditahan penguasa Gowa.
  19. Raja Layo, Bangkala dan seluruh Turatea serta Bajing dan tanah-tanah mereka harus dilepaskan.
  20. Seluruh negeri yang ditaklukkan oleh Kompeni dan sekutunya, dari Bulo-Bulo hingga Turatea, dan dari Turatea hingga Bungaya, harus tetap menjadi tanah milik Kompeni sebagai hak penaklukan.
  21. Wajo, Bulo-Bulo dan Mandar harus ditinggalkan oleh pemerintah Gowa dan tidak lagi membantu mereka dengan tenaga manusia, senjata dan lainnya.
  22. Seluruh laki-laki Bugis dan Turatea yang menikahi perempuan Makassar, dapat terus bersama isteri mereka. Untuk selanjutnya, jika ada orang Makassar yang berharap tinggal dengan orang Bugis atau Turatea, atau sebaliknya, orang Bugis atau Turatea berharap tinggal dengan orang Makassar, boleh melakukannya dengan seizin penguasa atau raja yang berwenang.
  23. Pemerintah Gowa harus menutup negerinya bagi semua bangsa (kecuali Belanda). Mereka juga harus membantu Kompeni melawan musuhnya di dalam dan sekitar Makassar.
  24. Persahabatan dan persekutuan harus terjalin antara para raja dan bangsawan Makassar dengan Ternate, Tidore, Bacan, Butung, Bugis (Bone), Soppeng, Luwu, Turatea, Layo, Bajing, Bima dan penguasa-penguasa lain yang di masa depan ingin turut dalam persekutuan ini.
  25. Dalam setiap sengketa di antara para sekutu, Kapten Belanda (yaitu, presiden atau gubernur Fort Rotterdam) harus diminta untuk menengahi. Jika salah satu pihak tidak mengacuhkan mediasi ini, maka seluruh sekutu akan mengambil tindakan yang setimpal.
  26. Ketika perjanjian damai ini ditandatangani, disumpah dan dibubuhi cap, para raja dan bangsawan Makassar harus mengirim dua penguasa pentingnya bersama Laksamana ke Batavia untuk menyerahkan perjanjian ini kepada Gubernur-Jendral dan Dewan Hindia. Jika perjanjian ini disetujui, Gubernur-Jendral dapat menahan dua pangeran penting sebagai sandera selama yang dia inginkan.
  27. Lebih jauh tentang pasal 6, orang Inggris dan seluruh barang-barangnya yang ada di Makassar harus dibawa ke Batavia.
  28. Lebih jauh tentang pasal 15, jika Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu tidak ditemukan hidup atau mati dalam sepuluh hari, maka putra dari kedua penguasa harus ditahan.
  29. Pemerintah Gowa harus membayar ganti rugi sebesar 250.000 rijksdaalders dalam lima musim berturut-turut, baik dalam bentuk meriam, barang, emas, perak ataupun permata.
  30. Raja Makassar dan para bangsawannya, Laksamana sebagai wakil Kompeni, serta seluruh raja dan bangsawan yang termasuk dalam persekutuan ini harus bersumpah, menandatangani dan membubuhi cap untuk perjanjian ini atas nama Tuhan yang Suci pada hari Jumat, 18 November 1667.

Referensi

  1. ^ Andaya, Leonard Y. 2004. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad Ke-17. Makassar: Ininnawa. ISBN 979-98499-0-X.
Order Detail
Perjanjian Bungaya (sering juga disebut Bongaya atau Bongaja) adalah perjanjian perdamaian yang ditandatangani pada tanggal 18 November 1667 di Bungaya antara Kesultanan Gowa yang diwakili oleh Sultan Hasanuddin dan pihak Hindia Belanda yang diwakili oleh Laksamana Cornelis Speelman. Walaupun disebut perjanjian perdamaian, isi sebenarnya adalah deklarasi kekalahan Gowa dari VOC (Kompeni) serta pengesahan monopoli oleh VOC untuk perdagangan sejumlah barang di pelabuhan Makassar (yang dikuasai Gowa).

Isi perjanjian

  1. Perjanjian yang ditandatangani oleh Karaeng Popo, duta pemerintah di Makassar (Gowa) dan Gubernur-Jendral, serta Dewan Hindia di Batavia pada tanggal 19 Agustus 1660, dan antara pemerintahan Makassar dan Jacob Cau sebagai Komisioner Kompeni pada tanggal 2 Desember 1660 harus diberlakukan.
  2. Seluruh pejabat dan rakyat Kompeni berkebangsaan Eropa yang baru-baru ini atau di masa lalu melarikan diri dan masih tinggal di sekitar Makassar harus segera dikirim kepada Laksamana (Cornelis Speelman).
  3. Seluruh alat-alat, meriam, uang, dan barang-barang yang masih tersisa, yang diambil dari kapal Walvisch di Selayar dan Leeuwin di Don Duango, harus diserahkan kepada Kompeni.
  4. Mereka yang terbukti bersalah atas pembunuhan orang Belanda di berbagai tempat harus diadili segera oleh Perwakilan Belanda dan mendapat hukuman setimpal.
  5. Raja dan bangsawan Makassar harus membayar ganti rugi dan seluruh utang pada Kompeni, paling lambat musim berikut.
  6. Seluruh orang Portugis dan Inggris harus diusir dari wilayah Makassar dan tidak boleh lagi diterima tinggal di sini atau melakukan perdagangan.
    Tidak ada orang Eropa yang boleh masuk atau melakukan perdagangan di Makassar.
  7. Hanya Kompeni yang boleh bebas berdagang di Makassar. Orang "India" atau "Moor" (Muslim India), Jawa, Melayu, Aceh, atau Siam tidak boleh memasarkan kain dan barang-barang dari Tiongkok karena hanya Kompeni yang boleh melakukannya. Semua yang melanggar akan dihukum dan barangnya akan disita oleh Kompeni.
  8. Kompeni harus dibebaskan dari bea dan pajak impor maupun ekspor.
  9. Pemerintah dan rakyat Makassar tidak boleh berlayar ke mana pun kecuali Bali, pantai Jawa, Jakarta, Banten, Jambi, Palembang, Johor, dan Kalimantan, dan harus meminta surat izin dari Komandan Belanda di sini (Makassar). Mereka yang berlayar tanpa surat izin akan dianggap musuh dan diperlakukan sebagaimana musuh. Tidak boleh ada kapal yang dikirim ke Bima, Solor, Timor, dan lainnya semua wilayah di timur Tanjung Lasso, di utara atau timur Kalimantan atau pulau-pulau di sekitarnya. Mereka yang melanggar harus menebusnya dengan nyawa dan harta.
  10. Seluruh benteng di sepanjang pantai Makassar harus dihancurkan, yaitu: Barombong, Pa'nakkukang, Garassi, Mariso, Boro'boso. Hanya Sombaopu yang boleh tetap berdiri untuk ditempati raja.
  11. Benteng Ujung Pandang harus diserahkan kepada Kompeni dalam keadaan baik, bersama dengan desa dan tanah yang menjadi wilayahnya.
  12. Koin Belanda seperti yang digunakan di Batavia harus diberlakukan di Makassar.
  13. Raja dan para bangsawan harus mengirim ke Batavia uang senilai 1.000 budak pria dan wanita, dengan perhitungan 2½ tael atau 40 mas emas Makassar per orang. Setengahnya harus sudah terkirim pada bulan Juni dan sisanya paling lambat pada musim berikut.
  14. Raja dan bangsawan Makassar tidak boleh lagi mencampuri urusan Bima dan wilayahnya.
  15. Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu harus diserahkan kepada Kompeni untuk dihukum.
  16. Mereka yang diambil dari Sultan Butung pada penyerangan terakhir Makassar harus dikembalikan. Bagi mereka yang telah meninggal atau tidak dapat dikembalikan, harus dibayar dengan kompensasi.
  17. Bagi Sultan Ternate, semua orang yang telah diambil dari Kepulauan Sula harus dikembalikan bersama dengan meriam dan senapan. Gowa harus melepaskan seluruh keinginannya menguasai kepulauan Selayar dan Pansiano (Muna), seluruh pantai timur Sulawesi dari Manado ke Pansiano, Banggai, dan Kepulauan Gapi dan tempat lainnya di pantai yang sama, dan negeri-negeri Mandar dan Manado, yang dulunya adalah milik raja Ternate.
  18. Gowa harus menanggalkan seluruh kekuasaannya atas negeri-negeri Bugis dan Luwu. Raja tua Soppeng [La TĂ©nribali] dan seluruh tanah serta rakyatnya harus dibebaskan, begitu pula penguasa Bugis lainnya yang masih ditawan di wilayah-wilayah Makassar, serta wanita dan anak-anak yang masih ditahan penguasa Gowa.
  19. Raja Layo, Bangkala dan seluruh Turatea serta Bajing dan tanah-tanah mereka harus dilepaskan.
  20. Seluruh negeri yang ditaklukkan oleh Kompeni dan sekutunya, dari Bulo-Bulo hingga Turatea, dan dari Turatea hingga Bungaya, harus tetap menjadi tanah milik Kompeni sebagai hak penaklukan.
  21. Wajo, Bulo-Bulo dan Mandar harus ditinggalkan oleh pemerintah Gowa dan tidak lagi membantu mereka dengan tenaga manusia, senjata dan lainnya.
  22. Seluruh laki-laki Bugis dan Turatea yang menikahi perempuan Makassar, dapat terus bersama isteri mereka. Untuk selanjutnya, jika ada orang Makassar yang berharap tinggal dengan orang Bugis atau Turatea, atau sebaliknya, orang Bugis atau Turatea berharap tinggal dengan orang Makassar, boleh melakukannya dengan seizin penguasa atau raja yang berwenang.
  23. Pemerintah Gowa harus menutup negerinya bagi semua bangsa (kecuali Belanda). Mereka juga harus membantu Kompeni melawan musuhnya di dalam dan sekitar Makassar.
  24. Persahabatan dan persekutuan harus terjalin antara para raja dan bangsawan Makassar dengan Ternate, Tidore, Bacan, Butung, Bugis (Bone), Soppeng, Luwu, Turatea, Layo, Bajing, Bima dan penguasa-penguasa lain yang di masa depan ingin turut dalam persekutuan ini.
  25. Dalam setiap sengketa di antara para sekutu, Kapten Belanda (yaitu, presiden atau gubernur Fort Rotterdam) harus diminta untuk menengahi. Jika salah satu pihak tidak mengacuhkan mediasi ini, maka seluruh sekutu akan mengambil tindakan yang setimpal.
  26. Ketika perjanjian damai ini ditandatangani, disumpah dan dibubuhi cap, para raja dan bangsawan Makassar harus mengirim dua penguasa pentingnya bersama Laksamana ke Batavia untuk menyerahkan perjanjian ini kepada Gubernur-Jendral dan Dewan Hindia. Jika perjanjian ini disetujui, Gubernur-Jendral dapat menahan dua pangeran penting sebagai sandera selama yang dia inginkan.
  27. Lebih jauh tentang pasal 6, orang Inggris dan seluruh barang-barangnya yang ada di Makassar harus dibawa ke Batavia.
  28. Lebih jauh tentang pasal 15, jika Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu tidak ditemukan hidup atau mati dalam sepuluh hari, maka putra dari kedua penguasa harus ditahan.
  29. Pemerintah Gowa harus membayar ganti rugi sebesar 250.000 rijksdaalders dalam lima musim berturut-turut, baik dalam bentuk meriam, barang, emas, perak ataupun permata.
  30. Raja Makassar dan para bangsawannya, Laksamana sebagai wakil Kompeni, serta seluruh raja dan bangsawan yang termasuk dalam persekutuan ini harus bersumpah, menandatangani dan membubuhi cap untuk perjanjian ini atas nama Tuhan yang Suci pada hari Jumat, 18 November 1667.

Referensi

  1. ^ Andaya, Leonard Y. 2004. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad Ke-17. Makassar: Ininnawa. ISBN 979-98499-0-X.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Seni - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger